NPM :
11214402
Kelas : 3EA30
Carroll dan Buchollz (2005) dalam
Rudito (2007:49) membagi tiga tingkatan manajemen dilihat dari cara para
pelaku bisnis dalam menerapkan etika dalam bisnisnya.
1. Immoral
Manajemen
Immoral
manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan
prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada
umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik
dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas
bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya
memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas
untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok
mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika.
Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan bisnisnya.
Contoh kasus Immoral Manajemen
Sumber:
http://news.detik.com/berita/d-3319359/polisi-sita-1-truk-muatan-kayu-illegal-logging-di-pelalawan-riau
2. Amoral
Manajemen
Tingkatan kedua
dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen.
Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini
sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis
lain manajemen tipe amoral ini, yaitu :
1. Manajer
yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini
adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan
bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan
efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa
memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum.
Manajer tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat
bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak.
Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang
berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam beraktivitas.
2. Tipe
manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya
memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara
sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis
mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe
ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi
kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar
dari pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.
Widyahartono
(1996:74) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis
dan etika adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar
pemikirannya sebagai berikut :
Bisnis adalah
suatu bentuk persaingan yang mengutamakan dan mendahulukan kepentingan
ego-pribadi. Bisnis diperlakukan seperti permainan (game) yang aturannya sangat
berbeda dari aturan yang ada dalam kehidupan sosial pada umumnya.
Orang yang mematuhi aturan moral dan ketanggapan sosial (sosial responsiveness) akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang tak mengenal “values” yang menghasilkan segala cara.
Orang yang mematuhi aturan moral dan ketanggapan sosial (sosial responsiveness) akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang tak mengenal “values” yang menghasilkan segala cara.
Kalau suatu
praktek bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku dan karena lawenforcement-nya lemah), maka para penganut bisnis amoral
itu justru menyatakan bahwa praktek bisnis itu secara “moral mereka” (kriteria
atau ukuran mereka) dapat dibenarkan. Pembenaran diri itu merupakan sesuatu
yang ”wajar’ menurut mereka. Bisnis amoral dalam dirinya meskipun
ditutup-tutupi tidak mau menjadi “agen moral” karena mereka menganggap hal ini
membuang-buang waktu, dan mematikan usaha mencapai laba.
Contoh kasus Amoral Manajemen
Sumber:
3. Moral
Manajemen
Tingkatan
tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah
moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas
diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan
aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan
mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan
prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk
dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis
yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam
komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang
berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka
patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi
dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu
melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan
aturan-aturan emas (goldenrule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis
yang diambilnya.
Contoh kasus Moral Manajemen
Sumber:
4. Agama,
Filosofi, Budaya dan Hukum
Dalam sumber –
sumber nilai etika yang menjadi acuan dalam melaksanakan etika dalam bisnis
adalah :
· Agama
Bermula dari
buku Max Weber The ProtestantEthicand Spirit of Capitalism (1904-5) menjadi
tegak awal keyakinan orang adanya hubungan erat antara ajaran agama dan etika
kerja, atau anatara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi.
Etika sebagai
ajaran baik-buruk, salah-benar, atau ajaran tentang moral khususnya dalam
perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama.
Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab
Injil (Bibble), dan etika ekonomi yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian
pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang muat
dalam Al-Qur’an.
Prinsip-prinsip
nilai-nilai dasar etika yang ada dalam ketiga agama Nabi Ibrahim ini yaitu :
1. Keadilan
: Kejujuran mempergunakan kekuatan untuk menjaga kebenaran.
2.
Saling menghormati : Cinta dan perhatian
terhadap orang lain
3.
Pelayanan : Manusia hanya pelayan,
pengawa, sumber-sumber alam
4. Kejujuran
: Kejujuran dan sikap dapat dipercaya dalam semua hubungan manusia, dan
integritas yang kuat.
Etika bisnis
menurut ajaran Islam digali langsung dari Al Quran dan Hadits Nabi. Dalam
ajaran Islam, etika bisnis dalam Islam menekakan pada empat hal Yaitu :
Kesatuan (Unity), Keseimbangan (Equilibrium), Kebebasan (FreeWill) dan tanggung
jawab (Responsibility). Etika bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling
percaya, kejujuran dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan
karyawan berkembangan semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya dalam
perusahaan yang islami gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan
benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan perusahaan
meningkat. Buruh muda yang masing tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih
rendah, sedangkan yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih
tinggi disbanding rekan-rekannya yang muda.
· Filosofi
Salah satu
sumber nilai-nilai etika yang juga menjadi acuan dalam pengambilan keputusan
oleh manusaia adalah ajaran-ajaran Filosofi. Ajaran filosofi tersebut bersumber
dari ajaran-ajaran yang diwariskan dari ajaran-ajaran yang sudah diajarkan dan
berkembang lebih dari 2000 tahun yang lalu. Ajaran ini sangat komplek yang
menjadi tradisi klasik yang bersumber dari berbagai pemikiran para fisuf-filsuf
saat ini. Ajaran ini terus berkembanga dari tahun ke tahun
Di Negara barat,
ajaran filosofi yang paling berkembang dimulai ketika zaman Yunani kuno pada
abd ke 7 diantaranyaSocrates (470 Sm-399 SM) Socrate percaya bahwa manusia ada
untu suatu tujuan, dan bahwa salah dan benar memainkan peranan yang penting
dalam mendefinisikan hubungan seseorang dengan lingkungan dan sesamanya sebagai
seorang pengajar, Socrates dikenang karena keahliannya dalam berbicara dan
kepandaian pemikirannya. Socretes percaya bahwa kebaikan berasal dari
pengetahuan diri, dan bahwa manusia pada dasarnya adalah jujur, dan bahwa
kejahatan merupakan suatu upaya akibat salah pengarahan yang membebani kondisi
seseorang. Pepatah yang terkenal mengatakan. : “Kenalilah dirimu” dia yang
memperkanalkan ide-ide bahwa hukum moral lebih inggi daripada hukum manusia.
· Budaya
Setiap transisi
budaya antara satu generasi ke generasi berikutnya mewujudkan nilai-nilai,
aturan baru serta standar-standar yang kemudian akan diterima dalam komunitas
tersebut, selanjutnya akan terwujud dalam perilaku. Artinya orang akan mencoba
mendekatkan dirinya atau beradaptasi dengan perkembangan nilai-nilai yang ada
dalam komunitas tersebut, dimana nilai-nilai itu tidak lain adalah budaya yang
hadir karna adanya budaya pengetahuan manusia dalam upayanya untuk
menginterpentasikan lingkungannya sehingga bisa hidup.
· Hukum
Hukum adalah
perangkat aturan – aturan yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka untuk
menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Hukum menentukan
ekspektasi – ekspektasi etika yang diharapkan dalam komunitas dan mencoba
mengatur serta mendorong pada perbaikan masalah – masalah yang dipandang buruk
atau tidak baik dalam komunitas. Sebenarnya bila kita berharap bahwa dengan
hokum dapat mengantisipasi semua tindakan pelanggaran sudah pasti ini menjadi
suatu yang mustahil. Karena biasanya hukum dibuat setelah pelanggaran yang
terjadi dalam komunitas.
Pada umumnya
para pebisnis akan lebih banyak menggunakan perangkat hukum sebagai cermin
etika mereka dalam melaksanakan aktivitasnya. Karena hukum dipandang suatu
perangkat yang memiliki bentuk hukuman/punishment yang paling jelas
dibandingkan sumber-sumber etika yang lain, yang cenderung lebih pada hukuman
yang sifatnya abstrak, seperti mendapat malu, dosa dan lain-lain. Hal ini
sah-sah saja, tetapi ini akan sangat berbahaya bagi kelangsungan bisnis itu
sendiri. Boatright (2003) menyebutkan ada beberapa alasan yang bias menjelaskan
hal ini yaitu :
1. Hukum
tidaklah cukup untuk mengatur semua aspek aktivitas dalam bisnis, sebab tidak
semua yang tak bermoral adalah tidak legal. Beberapa etika dalam bisnis konsen
pada hubungan interpersonal kerja dan hubungan dengan para pesaing, yang sangat
sulit diatur melalui undang-undang. Contohnya adalah kasus persaingan para
industri mie instan seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya.
2.
Karena hukum selalu dibuat setelah
pelanggaran terjadi, sehinga kita bias menyebut bahwa hukum selalun lambat
dikembangkan dibandingkan segala masalah-masalah etika yang timbul. Sisi
lainnya adalah biasanya untuk membuat suatu undang-undang atau aturan hukum akan
membutuhkan waktu panjang juga. Undang-undang tidak bisa dibuat begitu saja
ketika ada pelanggaran yang terjadi, tetapi akan melalui banyak tahap apalagi
harus melalui proses juridis, dan terkadang banyak pertimbangan-pertimbangan
ketika pembuatan undang-undang tersebut. Akhirnya banyak nilai-nilai yang ingin
ditegakkan dalam pembuatan undang-undang tersebut bisa melenceng dari tujuan
utamanya. Sebagai contoh adalah undang-undang tentang hak cipta terjadi
diindonesia. Sudah berpuluh tahun lamanya pelanggaran hak cipta terjadi
diindonesia, tetapi undang-undangnya baru berbentuk pada tahun 2002 kemarin.
Begitu juga dengan kasus ponografi terjadi diindonesia, hingga saat ini pun
belum juga ditemui kesepakatan bagaimana bentuk undang-undang ponografi itu sebenarnya
diindonesia.
3.
Terkadang hukum atau undang-undang itu
sendiri selalu menerapkan konsep-konsep moral yang tidak mudah untuk
didefinisikan sehingga menjadi sangat sulit pada suatu ketika untuk memahami
undang-undang tanpa mempertimbangkan masalah-masalah moral.
4.
Hukum sering tidak pasti. Walaupun suatu
kejadian atau aktivitas dianggap legal, serta hukum/undang-undang haruslah
diputuskan melalui pengadilan, dan dalam membuat keputusan, pengadilan selalu
mengacu pada pertimbangan-pertimbangan moral. Banyak orang juga berfikir bahwa
selama tindakannya tidak melanggar hukum adalah suatu yang benar walaupun apa
yang dilakukannya bisa dianggap tiadak bermoral.
5. Hukum
kadang tidak bisa diandalkan, apalagi jika bisnis itu berada pada suatu wilayah
atau dari daerah yang tingkat penegakan hukumnya sangat rendah. Contohnya, pada
masa orde baru, pembentukan peraturan dan undang-undang cenderung bergantung
pada penguasa, sehingga undang-undang atau aturan saat itu cenderung untuk
menguntungkan pihak-pihak tertentu yang dianggap memiliki hubungan erat denagn
pemerintah pada saat itu orang-orang yang menjadi kroni-kroni penguasa bisa
menjadi orang yang kebal hukum dan tidak bisa dijerat dan dijatuhi hukuman.
Contoh kasus Agama, filosofi, budaya dan hukum
Sumber:
5. Leadership
Kepemimpinan
(Leadership) adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi memotivasi, dan
membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi efektivitas dan
keberhasilan organisasi … (House et. Al., 1999 : 184). Menurut Handoko (2000 :
294) definisi atau pengertian kepemimpinan telah didefiinisikan dengan berbagai
cara yang berbeda oleh berbagai orang yang berbeda pula. Menurut Stoner,
kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengarahan dan
pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang saling
berhubungan tugasnya.
Ada tiga implikasi
penting dari definisi tersebut, antara lain: Pertama, kepemimpinan menyangkut
orang lain – bawahan atau pengikut. Kesediaan mereka untuk menerima pengarahan
dari pemimpinan, para anggota kelompok membantu menentukan status/kedudukan
pemimpin dan membuat proses kepemimpinan dapat berjalan. Tanpa bawahan, semua
kualitas kepemimpinan seorang manajer akan menjadi tidak relevan. Kedua,
kepemimpinan menyangkut suatu pembagian kekuasaan yang tidak seimbang di antara
para pemimpin dan anggota kelompok. Para pemimpin mempunyai wewenang untuk
mengarahkan berbagai kegiatan para anggota kelompok, tetapi para anggota
kelompok tidak dapat mengarahkan kegiatan-kegiatan pemimpin secara langsung,
meskipun dapat juga melalui sejumlah cara secara tidak langsung. Ketiga,
pemimpin mempergunakan pengaruh. Dengan kata lain, para pemimpin tidak hanya
dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan tetapi juga dapat
memepengaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya.
Contoh kasus Leadership
Sumber:
http://regional.kompas.com/read/2016/10/14/13000091/memimpin.di.era.milenial.digital
6. Strategi
dan Perfomasi
· Strategi
Istilah strategi
berasal dari bahasa Yunani strategia yang diartikan
sebagai “theartofthegeneral” atau seni seorang panglima yang biasanya
digunakan dalam peperangan. Karl vonClausewitz (1780-1831) berpendapat
bahwa pengertian strategi adalah pengetahuan tentang penggunaan
pertempuran untuk memenangkan peperangan. Dalam abad modern ini, penggunaan
istilah strategi tidak lagi terbatas pada konsep atau seni seorang panglima
dalam peperangan, tetapi sudah digunakan secara luas hampir dalam semua bidang
ilmu. Dalam pengertian umum, strategi adalah cara untuk mendapat kemenangan
atau pencapaian tujuan.
· Performansi
Performansi
adalah cacatan outcome yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu
atau kegiatan selama suatu periode waktu tertentu. (Bernandin&Russell).
Sedangkan yang dimaksud dengan penilaian performansi adalah suatu cara mengukur
kontribusi-kontribusi dari individu-individu anggota organisasi kepada
organisasinya. (Kae E. Chung& Leon C. Megginson).
Contoh kasus Strategi dan Perfomasi
Sumber:
Menurut James
(2004 : 87) “karakteristik individu adalah minat, sikap dan kebutuhan yang
dibawa seseorang didalam situasi kerja.” Minat adalah sikap yang membuat
seseorang senang akan obyek kecenderungan atau ide-ide tertentu. Hal ini
diikuti dengan perasaan senang dan kecenderungan untuk mencari obyek
yang disenangi itu. Minat mempunyai kontribusi terbesar dalam pencapaian
tujuan perusahaan, betapapun sempurnanya rencana organisasi dan pengawasan
serta penelitiannya. Bila karyawan tidak dapat menjalankan tugasnya dengan
minat gembira maka suatu perusahaan tidak akan mencapai hasil yang semestinya
dapat dicapai.
Terkait mengenai
kepuasan kerja menurut Okpara (2006:26) kepuasan kerja yang didapatkan
setiap karyawan tidak sama karena kriteria mereka terhadap kepuasan kerja
berbeda-beda. Hal ini berhubungan dengan masing-masing individu karyawan
yang meliputu hal umur, jenis kelamin, status kawin dan masa kerja.
Karakteristik
individu menurut Ratih Hurriyati (2005:79) merupakan suatu proses
psikologi yang mempengaruhi individu dalam memperoleh, mengkonsumsi serta
menerima barang dan jasa serta pengalaman karakteristik individu merupakan
faktor internal (interpersonal) yang menggerakkan dan
mempengaruhi perilaku individu.
Contoh kasus Karakter Individu
Sumber:
8. Budaya
Organisasi
Menurut
Mangkunegara, (2005:113), budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau
sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang
dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah
adaptasi eksternal dan integrasi internal.
Budaya
organisasi juga berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami
karakteristik budaya suatu organisasi, dan tidak terkait dengan apakah karyawan
menyukai karakteristik itu atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu sikap
deskriptif, bukan seperti kepuasan kerja yang lebih
bersifat evaluatif.
Contoh kasus Budaya Organisasi
Sumber:
Daftar Pustaka: